Minggu, 09 Februari 2014

Riak Ombak Mata

Percik api itu sengaja dinyala,
Seuntai sumbu dengan tempo mulai mendesis, menderik.
Nuansa hampa dibius oleh gelisah,
Lepas dari ancang busur, panah-panah berontak memutar balik.
Dalam paduan pucat pancar caya bulan

Satu pasti menemui, papasan inti,
Naluri menggali
dan mendengar
dan pada tugas akhir menyimpuli.
Mata waswas bersama kening mengkerut,
Dentuman-dentuman mulut merahi angkasa, diatur oleh kawan membelut.
Kepengapan terasa, dan cepat mengamuk ledakan hebat dalam dada!

Lama, perisai kemarahan ini menahan,
Di atas lumpur tebal, sering dihujani tiap liur mulut kotor,
Membanjiri, dan menderai dari pantai ke pantai.
Layar kapal tak mampu kemudi,
berputar,
tertiup kencang dari tenggorokan badai,
Tak mengenal irama!
Angin menampar-nampar!
Halilintar menyambar!
Mata melepas pandang, mengambang di kengerian laut pasang,
Hilang di bawah awan curam, deru topan berganti sepi.
Ombak beriak tak tertahankan, dengan lambat, mutiara bening menggelinding,
Jatuh ke pipi bumi,
Terdampar pada permadani rumput hijau, terasa gigil-menggigil,
Tiupan nafas alam membekui, merinding,
Dalam kepencilan merasakan tubuh hanya dingin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar