Dan
masuklah ia dalam labirin proses, bersama semua kehijauannya. Di atas tubir
tertutup, terlantar tanpa sedikit pun protes. Dikelilingi ketegangan,
diselimuti keringat kepolosan dalam ruangan. Lika liku nan mampu ledakkan benak
manusia dewasa, tua, jua tiap gugusan otak mahir. Namun ia hanya sebatang di
sana, laksana bunga dalam sepinya gersang padang pasir. Dengan keabu-abuan ia
menentang masa depan, dengan mata sayu di sebrang palu menunggu ketukannya
bagai bedil yang akan mengagetkan, dan dengan sepi menanti datangnya dalil.
Berharap Dewi Themis memercik kebijakan akan suatu teka-teki yang
menggeleparkan jiwa dan tata-tata dan tidak kurang 1 tahun lama.
“Hukum lagi?”, kataku di luar
labirin.
“Iya nak, sebagian kalangan menganggap
itulah alat terbaik dan memungkinkan ‘tuk hentikan perselisihan dalam kehidupan
sosial.” Langsung saja ia berlagak mengguruiku, “anggapan itu ada, menurutku
karena keyakinan bahwa hukum adalah instrumen yang netral dari berbagai nilai
atau kepentingan tertentu kelompok sosial.”, kata seseorang tua padaku, juga di
luar labirin.
Sulawesi Tengah,
Mei 2011, satu peristiwa menggemparkan manusia.
Dalam labirin tersebut, seorang
berpakaian hitam panjang sampai ke lutut, berlengan panjang dengan bahan jenis
kain dril dengan wol sisir sebagai lusin, berkata terdengar pelan dari luar
sini, “barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama....tahun atau
pidana denda paling banyak....rupiah.”
“Oh, Kasus Pencurian”, kataku sambil
membakar sebatang jarum.
“Ya.. dan pencurinya pun anak kecil
15 tahun serta masih tercatat sebagai siswa SMK Negeri....”, masih kata seorang
itu.
Lantas segeralah mataku menengok
lagi ke dalam ruang labirin tersebut, ku lihat benar anak remaja yang duduk di
kursi pesakitan, dengan murungnya di lantai terdakwa, dalam posisi yang bersalah,
antara bui dan gedung sekolah tercintanya. Langsung terbersit dalam benakku,
seperti ini lah jadinya jika remaja berkawan dalam hidup di atas dunia dan
lingkungan yang salah.
“Seperti itu lah kehidupan dewasa
ini, nak”, orang itu berkata, dan seperti mendengar puitik benakku, ia berbicara.
“Kesalahan itu memang hendaknya dihindari, tapi siapalah manusia yang tak
lekang dengan kesalahan?, apalagi dia hanya seorang anak belum dewasa, yang
masih menyusun, membangun rumah jati dirinya di atas dunia, di tanah dalam lingkungan
kelahirannya.”
Mataku masih mengintip dari kaca
jendela yang hampir seluruhnya tertutup oleh gorden, dalam benakku, “kenapa
harus suasana seperti ini yang selalu bergentayangan untuk menggali dan
mendapatkan suatu yang katanya keadilan”. Pandangku seperti dipaksa mengarah
kepada satu senyum yang agak dipaksakan lugu, seorang muda, tegap, berseragam
warna coklat berlogo briptu.
Aku hendak menanyakan siapa orang
itu, yang duduk disamping anak remaja SMK dan ditemani seorang yang berpakaian
jas hitamnya. Sebelum ku arahkan mataku, orang itu sudah mulai lagi berbicara,
“dia lah penggugatnya, dia juga yang merasa dirugikan maka segalanya masuk ke
atas meja hijau ini”.
“Lantas apa yang telah dilakukan
anak itu?”
“Semuanya bermula saat ia dan
temannya lewat Jalan Zebra, tepatnya di muka kosan Briptu tersebut, ia mencuri
barang milik Briptu dan lansung dimasukkan ke dalam tas”
“Barang apa yang diambinya?”
Seperti Badut yang ‘tak lucu, orang
itu ‘tak mengindahkan pertanyaanku, dan terus bercerita. “Saat diinterogasi,
anak itu sempat mendapat penganiayaan dari Briptu dan rekannya yang juga
polisi. Dengan dugaan itu, keluarga anak tersebut melaporkan kedua oknum polisi
ke bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tengah.”
Dalam benakku, seorang anak sebatang
kara itu, ternyata didiamkan dengan ketidaktahuannya, dan sebelum itu, ia
sempat dihiasi oleh warna hijau kebiru-biruan lebam, di sekeliling punggung,
kaki, dan tangannya, dan ‘tak mampu untuk melawan. Dan sekarang berharap cemas
untuk hukuman 5 tahun penjara yang telah menatap tajam. Semakin tertarik aku
dengan ceritanya, semakin penasaran aku siapalah gerangan orang tua ini.
“Kok polisi yang terlibat, tidak
punya perasaan ya?”, seru beberapa orang di antara kita.
Aku kembali bertanya, “Lalu adakah yang telah
dilakukan orang tua anak itu?”, pertanyaan itu keluar didorong oleh rasa
penasaran.
“Mereka sebelumnya pernah berniat
mengganti barang yang dicuri anak itu, tetapi Briptu dengan keras ingin
melanjutkan kasus ini.”
Terlintas dalam kepalaku, bahwa
keinginan Briptu ini diharuskan karena ia terlanjur disiramkan sanksi. Yang aku
ketahui bahwa dengan pelaporan kedua oknum polisi itu ke bidang profesi, maka
mereka layak mendapatkan sanksi disiplin.
Terdengar suara dari dalam labirin,
setengah badan seorang ibu nampak dari dalam pintu dengan kerudung berbahan
katun, memanggil, “Pak, sudah selesaikan merokoknya?”. tersadar aku bahwa yang
dipanggil ibu itu adalah seorang tua yang tadi aku pinjam rokoknya untuk
menyalakan rokokku, serta teman ngobrol-ku.
Ibu itu melanjutkan, “Pak, ayo masuk, anak kita butuh dukungan moral dan
spiritual kita di dalam.”
Kemudian masuklah ibu tadi ke dalam,
dan disusul oleh orang tua dengan sebelumnya memberikan sedikit sapa kepadaku
dan hilang dengan ditutupnya pintu labirin. Lalu pergilah beberapa orang di
depan pintu ini entah kemana, tersisah aku sendiri dengan mata melihat ke
dalam, lewat celah jendela. Merasa iba aku melihat anak itu, dan merasa dapat
pembelajaran yang baik aku dari ayah anak itu.
Coba aku berjalan ke taman dekat
ruang persidangan, untuk pikirkan semua itu, dengan mata tetap berpusat pada
tempat menggali kebajikan. “Anak SMK 15 tahun?”, “pencurian?”, “Briptu?”,
“penganiayaan?”, “pengadilan?”.
“Akses keadilan apa bagi si bocah
SMK itu?!”, seperti bisikan dari embusan angin yang menggoyangkan dedaunan.
“Mencuri adalah tetap mencuri”, meja
yang kalah hijaunya itu, seperti berbicara dengan wibawa.
“Alas kaki melayang, meja gila ini
yang datang”, aula itu merintihkan kekecewaannya.
Kemudian yang aku ketahui bahwa
kejadian yang harus masuk labirin itu adalah kasus pencurian sandal jepit yang
dilakukan anak kecil SMK, dan bersama pertimbangan di bawah umur dan tetap
bersekolah, baik selama penyidikan di kepolisian maupun di kejaksaan, anak itu
tidak dilakukan penahanan.
Dalam labirin itu juga, barang bukti
yang diajukan bukanlah sandal yang pada awalnya dikatakan hilang. Briptu
mengaku, “Saya kehilangan sandal bermerek Eiger
nomor 43.”, Tetapi, yang ditunjukkan jaksa sebagai barang bukti ialah sandal
bermerek Ando nomor 9,5. Serta
tiadanya saksi satu pun yang melihat langsung apakah merek Ando itu yang benar dicurinya di depan kamar Briptu.
“Kenapa Briptu itu terlihat begitu
bersikeras?”, tanya seseorang pada kawan bicaranya di dekat taman.
Telah aku ketahui juga bahwa kedua
oknum polisi itu telah mendapatkan sanksi penempatan di tempat khusus selama 21
hari. Itulah yang membuat ia ngotot
agar kasus ini tetap dalam proses peradilan.
“Menurutku, tindakan anak itu lebih
tepat dikategorikan kenakalan masa remaja sebagai bentuk kembang mereka di masa
transisi.”, terdengar olehku perkataan lawan bicara orang itu.
“Apakah benar sistem penegakan hukum
di negeri ini hanya mengedepankan sisi prosedural tanpa pertimbangan sisi
kemanusiaan?”, pikirku, dan “dari segi hukum, sebaiknya anak-anak dibimbing,
dibina, dan dikembalikan pada orang tuanya, bukankah ini bisa menjadi preseden
buruk di masa depan bagi rana hukum sendiri? Jika tidak, akan penuhlah penjara
karena kenakalan-kenakalan masa remaja”.
Dengan
suara-suara seperti itu dalam benakku, aku akan arsiteki satu rencana, mengetuk
hati kecil setiap orang dari berbagai lapis elemennya, dan menggalang
sebanyak-banyaknya suara masyarakat dengan mengumpulkan 1000 pasang sandal
jepit beserta berbagai macam merek, “anak itu bukanlah koruptor!, yang layak
dikedepankan sisi prosedural hukum, sedang koruptor mutlak pun belum tentu”,
lagi terdengar suara dalam benakku.
Jika telah terkumpul 1000 pasang sandal,
akan kita serahkan semua kepada briptu itu sebagai pengganti 3 sandalnya yang
hilang, dan ia akan puas bahagia!, serta tidak perlu lagi untuk membeli sandal
baru dalam seumur hidupnya!
-Selesai-
Hukum adalah
sebilah pisau dapur mengarah ke tanah, runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Ia
selalu terikat oleh konteks sosio-historis dan tak dapat dilepas, ia datang
bukan dari ruang hampa tanpa nama, ia juga selalu memiliki ide-idenya sendiri,
artinya selalu menggenggam ideologi, dan akan tercium wangi hukum itu, jika
mampu mengedepankan dahulu sisi manusiawi dalam beberapa hal, dan tidak
terlepas sifat aslinya.
Steven Turhang (3-2-2014) sastraadalahakar...