Minggu, 10 Agustus 2014

Pencipta Sang Karya (Cerpen)

 Seorang penulis sedang bergulat dengan dirinya, di atas kursi kayu sederhana dan kedua tangannya berpangku pada meja tua. Satu rencana ditatap tajam, berbagai cerita didapat dengan cara bergulat kejam, berlembar-lembar kertas tak tertata dan jarinya dihinggapi pena.

            Mencoba melukis dengan kata-kata dan mewarnainya dengan barisan huruf puitik. Mengumpulkan bermacam cat, mencampurnya, memainkan kuas dan menghasilkan karya yang tersembunyi berbagai warna kritik.

            Mula-mula menempelkannya di dinding atau lantai atau kanvas jiwanya yang tak terlihat oleh mata. Terbaca jelas satu peristiwa, akan tetapi, dapat menjadi cermin ke berbagai arah, ke setiap sudut panggung sandiwara dunia, dan tak terbatas pada satu ruangan sempit dan gelap dan dipenuhi bau badan manusia yang tidak suka merawat kebersihan dengan rutin, hal yang rutin dia lakukan adalah memasukkan tangannya ke dalam tenggorokan, dan mengeluarkan banyak liur ke atas kanvas itu dia melukis :

Ku berjalan menentang angin
Karena aku tak suka asingnya suara-suara
Kebaikan tergoda indahnya api lilin
Meraba-raba aroma wangi dua buah dada

            Sedikit tabu, tak berjiwa adat ketimuran, bahkan tak bernilai seni!. Penulis itu tersenyum, karena suara-suara yang tak disukainya semakin nyata. Dan mereka, orang-orang yang telah melihat dua buah dada merasa, bahwa lukisan kata itu tak layak untuk dikonsumsi.

            Dia tetap hanya ingin bergulat dengan dirinya sendiri, dia tak mampu melihat kritikan itu sebagai kritik seni, siapalah penulis yang merasa layak karyanya untuk dimakan, dikonsumsi, dijual dan dengan kesalahan apresiasi?. “Aku menulis karena aku tidak makan, jika tulisanku laku untuk dikonsumsi, apakah masih ada celah kosong untuk dituliskan?”

Oh.. puisi.. oh puisi..
Engkau bukanlah ilmu pengetahuan dengan batasan
Oh.. puisiku, bukan lah dogma, karena disitu tak ada derita
Oh.. puisi.. oh puisi..
Engkau lahir dari penderitaan
Dan ketika terlahir, penderitaan menjadi puisi
Oh.. puisi, engkau adalah derita

            Penulis mana yang melihat batasan? Penulis mana yang tak bebas seperti burung yang tidak mampu terbang melihat pohon dengan bentuk yang berbeda? Apakah harus dibuat undang-undang yang mengatur garis batas bagi penulis untuk membuat karyanya? Apakah batasan-batasan yang kalian suarakan adalah nyata? Apakah yang penulis rangkai adalah selalu nyata? Apakah karya seni selalu hidup dalam kenyataan? Oh.. apakah! Inilah kenyataan!.

            “Aku adalah hampir sama dengan pemulung, aku hanya mencari sampah-sampah di jalan, di pinggir sungai, di jembatan dan dimana-mana. Aku hanya ingin membuatnya berguna, dan jika tidak, tong sampah pun tak ingin menerimanya. Aku akan coba langkah terakhir, membakar sampah-sampah tadi, kemudian asapnya akan aku hirup masuk kepedalaman paruku. Karena aku ingin menjadi satu dengan segala macam sampah yang ada dalam diriku, karena aku ingin memperbaikinya setelah aku rusakkan, karena aku ingin bercinta untuk merasakan kebencian, karena aku ingin bahagia bersama derita, dan karena aku hanya manusia yang dipenuhi sampah dan gejolak jiwa.”, kata sang penulis dalam syairnya:

Oh.. sampah.. pergilah dari ranjangku!
Karena aku ingin bercinta
Ku ingin meneguk sesendok keringatnya
Yang dipenuhi oleh aroma, tiada dua!
Yang dikuasai oleh nafsu dalam jiwa
Aku ingin masuk kedalamnya
Merasakannya.. menikmati cinta yang sudah menjadi bukan cinta
Keluarlah tinta dari penaku, menjadi cairan karya seni

            Mereka terus menghujani, membasahi, mempermalukan dengan lebih banyak petir tak terkendali, dengan terlebih dahulu mengusir pergi matahari. Mereka datang tiba-tiba, mereka memperotes seperti anak bayi, mereka memarahi seperti seorang ibu kepada anaknya yang tak patuh. Dan penulis itu berkata,

            “Kalian belum waktunya datang, awan-awan gelap pun belum nampak menyelimuti surya”,
 ia melanjutkan, “kalian, aku rasa sudah layak pergi tinggalkan sayap-sayap ayam indukmu, tengoklah sekitar, cermatilah, kalian sudah bukan anak bayi”,

            Kembali dia dengan suara bernada rendah, “tetapi, patuhlah terus kalian kepada indukmu, dan jangan larang anakmu nanti melatih hayalannya”.

            Kedua telinga mereka tertutup oleh emosi dan oleh kehidupan nyata, penulis itu semakin pasrah ketika dia melihat ada di antara mereka, kawannya yang sama kesibukannya, yang satu profesi dengannya. Mereka menyirami dengan kata-kata; nista, pendosa, setan, binatang, yang keluar seperti peluru-peluru panas dari senapan hasil curian, melukai wajah dan tubuh penulis tetapi tak mampu menembus kanvas jiwanya.

             Penulis tidak melawan dan juga tidak, untuk membela diri. Dia melihat setiap ludah yang keluar dari mulut mereka dengan suara-suaranya adalah seni, karya seni. Dan karya seni adalah satu peristiwa dengan jiwa yang keluar dari tubuh seorang seniman sebagai manusia, seperti anaknya sendiri. seperti jiwanya sendiri. Pada saat itu penulis mengetahui bahwa karya seni tak akan bisa mati, walau mereka terus mencoba untuk membunuhnya. Tubuh  penulis akan pasti mati, tetapi dengan tenang, sebab satu rencana seorang penulis sudah hampir selesai, yaitu membuat lukisan kata-kata. Dan keturunannya itu akan terus ada, dan akan terus mendoakannya, agar dapat diterima di rumah abadi para jiwa-jiwa, yang tak lagi menyentuh tanah dan dua buah dada, dan tak lagi mampu untuk menghirup aroma keringatnya, dia terbang melayang dan tak lagi membutuhkan udara, sebab paru-paru mereka tak lagi berguna, telinga dan matanya juga tidak dapat bekerja, bahkan jantungnya sudah tak mampu memompa darah. Sebab jiwa adalah juga karya seni yang tak dapat dinilai tingkat keseniannya oleh jiwa kita, jiwa adalah lukisan dan karya seni terindah yang diciptakan oleh Maha Karya, Maha Indah, Sang Maha Cipta Karya Yang Terindah.


(Kayu Agung, Palembang, 10 Juni 2014)

Tali Yang Terputus (Cerpen)


Anak kecil itu sedang mencoba menerbangkan layangnya, setelah sang surya menampakkan diri pada lukisan alam pagi, dimana setiap ayam jantan sedang sibuk menyambut penampakkan sinar wajahnya, dan setiap kegiatan dalam sandiwara masing-masing telah datang waktu dimulainya.
            Anak itu sudah menyiapkan kegiatannya hari ini hingga menjelang sore nanti, dia kumpulkan sisah jajannya untuk membeli satu layangan dan segulung benang. Tidak seperti biasa bersama teman-temannya. Di taman luas bertanah merah ini adalah tempat favoritnya untuk menikmati permainan layang. Lapangan ini hampir selalu ditumpahkan cahaya matahari ketika dia bermain, baik saat bersama-sama maupun sendiri, jarang sekali dia pergi sendiri.
           Anak-anak sangat suka dengan gigitan-gigitan matahari yang sedikit perih, dan banyak dari mereka tidak merasakan itu. Mereka fokus pada satu kepuasan hati saat berhasil menerbangkannya, dan melihatnya bersama banyak layang-layang lain yang merangkak di batas dinding cakrawala.
            Saat itulah kita untuk pertama kali melihatnya, bergumul dengan kerja keras dan segala emosi ketika layangnya tak juga berhasil diterbangkan. Sekali waktu dia beristirahat di bawah pohon besar yang banyak memberikannya oksigen, belayan angin lembut, juga perasaan bahwa dia sedang dipeluk erat dengan badannya yang ia sandarkannya. Mencoba menengok beberapa hari belakangan dalam satu minggu yang panjang akan satu perasaan yang bercampur aduk dengan satu insting yang sama sekali tidak nyaman, terutama saat ia mencoba tidur pada malam hari berharap mendapatkan mimpi indah dari-Nya, dan istirahat yang cukup untuk hari esok, tapi, kedua mata mungil itu segan untuk tertutup akibat jeritan dari ibunya dan teriakan serak dari mulut ayahnya di luar kamarnya, ia tidak jelas mendengar tiap percakapan itu, tapi karena dengan sendiri rasa dan insting bekerja dan mengganggunya.
            Ketika bayangan itu terhempas ke ranah entah akibat debu-debu melayang dibawa oleh angin, dilepas, dan jatuh menggenai satu matanya, ia usap dengan tangan dan jari-jari kecil itu dan lekas kembali berdiri dan mencoba lagi untuk menggapai kepuasan hatinya di taman yang juga ada banyak orang bermain, atau sekedar bersantai-santai pada minggu siang yang indah ini.
Aku ada di antara mereka, sedang duduk di kursi kayu, sedang menikmati segelas es kelapa. Anak kecil itu terus mencoba dan mencoba, dengan usahanya sendiri, dia melihat anak kecil yang lain, umurnya sekitar usianya anak yang masih bersekolah kelas 5 SD, sedang melakukan apa yang sedang ia lakukan, menerbangkan layang-layang, tapi anak kecil yang lain itu ditemani dan dibantu oleh ayahnya. Ia tersenyum, dan merasakan satu hal akan itu yang masih menempel dalam sanubari yang belum banyak terisi.
            Hari ini aku tidak begitu menyukai cuaca dan suasananya, terutama matahari yang menyengat ini, maka aku lebih suka meneduh di bawah tenda yang ke empat sisinya diikat di antara pohon-pohon, dan satu gerobak milik penjual es kelapa dan menikmati jualannya.
Anak kecil itu terpeleset, seketika bersama jatuhnya gelasku, pecah, berkeping-keping kecil, entah kemana-mana, dan hal serupa juga dirasakan anak itu saat kedua bola matanya hendak menutup hari, kemudian mendengar pecahan piring dan gelas, yang diteruskan oleh jeritan dan teriakan. Satu ketakutan dan kecemasan yang sulit digambarkan walau abstrak yang dirasakan oleh anak itu, mengenai satu ikatan indah yang bertahun-tahun dirawat dan disirami kasih sayang oleh kedua orang tuanya, dan tumbuh satu bunga yang mempesona keduanya, bersama segala rasa, pikiran, dan pribadi dari bunga itu sendiri. Ya, bunga itu adalah Anton, anak kecil yang sedang mencoba menerbangkan layang perasaannya.
            Aku suka mengamati hari minggu ini, Anton sedang bermain dan masih mencoba dan kembali gagal, kembali ia beristirahat sejenak di pelukkan sahabatnya yang besar, pohon itu. Lekas satu bayangan hinggap di benaknya menjadi satu pemandangan hitam-putih. Saat itu ia masih kelas 3 SD, sekitar 2 tahun lalu, di mana untuk pertama kali ayahnya mengajak Anton untuk bermain layang-layang, juga di lapangan ini, dan persis di tempat di mana Anton sekarang mencobanya sendiri. Berdua mereka mencoba menerbangkannya, dan pada saat layang itu berhasil terbang, ayahnya berkata,
            “Apa kamu merasakan yang ayah rasakan, ton?”, katanya.
            “Iya yah, apa namanya itu?”, kata Anton.
            “Satu perasaan mewah akan keberhasilan, bukan sekedar kesuksesan, yang sedang Anton dan ayah rasakan sekarang ini adalah kepuasan, kepuasan hati, berilah hatimu kepuasan ton, dengan apa pun yang kamu sukai, cari lah hobimu, dengan cara menerbangkan mimpi seperti layang kita ini”, kata ayahnya.
            Dari pertama kali bersama ayahnya, hingga kini Anton menyukai bermain layang, dan ketika perasaan hatinya puas, itu adalah tanda bahwa layangnya sudah berhasil terbang dengan tenang. Anton tidak suka mengadu mimpinya dengan mimpi orang lain, ia tidak suka mengorbankan layangnya dengan mengalahkan layang-layang milik orang lain. Dan ketika perasaan puasnya sudah ia gapai untuk beberapa menit, artinya waktu untuk menurunkan kembali layangnya, itu lah arti keberhasilan yang diajarkan ayahnya kepadanya. Aku pun terus mengenggam makna akan arti itu, karena saat itu pun aku untuk pertama kalinya juga mengamati Anton bermain layang dan itu harus.
            Kami berdua bagai dua bayangan yang dipantulkan lampu di pinggir jalan dari satu tiang, Anton menyukai layang-layang dan aku suka mengamatinya, satu perasaan sama dari apa yang dilakukan berbeda. Jika Anton melihat satu layang terputus dan tidak lagi dikendalikan, itu adalah hal yang sama, ketika aku melihat anak manusia yang dipenuhi dengan tidak adanya harapan, akan banyak anak kecil lainnya yang mengejar layang itu dan mencurinya, karena layang itu lah harapan. Satu harapanku telah terkubur di bawah tanah bersama bangkainya, harapan yang dilahirkan oleh harapan, ketika berjalannya waktu, kedua harapan tadi saling mengharapkan, dan harapan itu telah tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Apalah yang didapat Anton jika layang itu tidak dapat dilihat lagi?, aku tak akan membiarkannya.
            Anton telah meminum setengah gelas es kelapanya, dan kembali dengan perlahan dan dengan perasaan yang lebih tenang mencoba untuk memuaskan perasaannya. Angin berhembus dengan nikmatnya di bawah tenda ini, dan aku berharap Anton berhasil untuk menerbangkan harapannya sebentar lagi.
            “Pak, aku pesan satu gelas lagi ya”
            Sesaat kemudian dengan penuh keramahan dan senyum yang indah dari penjual es kelapa. Karena itu lah mengapa aku senang sekali menghabiskan waktu di sini, di lapangan milik Anton ini.
            “Silahkan, nak, es kelapanya”, kata senyuman itu.
            “Berapa harga tiga gelas ini, pak?”
            “Hitung dua sajalah”, kata keramahannya.
            Ketika aku kembali menengok Anton, harapanku terpuaskan bersama satu sedotan air kelapa yang baru dan segar terjun melalui tenggorokanku. Untuk pertama kalinya aku melihat kepuasan Anton itu seperti dahulu, walau tidak bersama ayah. Dia telah menggapai kepuasan itu, juga untuk pertama kalinya, dengan sendiri.
            30 menit Anton menikmati segala perasaan yang terpuaskan oleh harapan yang telah ia terbangkan, harapan itu melayang dengan tenang, dan Anton nampak tidak biasanya, dia melamun, namun tetap dengan kepuasan di dalamnya. Mungkin karena beberapa jam sebelum Anton dan aku pergi ke taman ini, ke lapangan ini, ibunya yang sering menjerit di malam hari belakangan, yang juga sering memberikannya ketakutan malam akan kecemasan pecahnya gelas dan piring, orang yang Anton sangat cintai, seorang ibu yang membawanya ke dunia ini, cintanya, pelindungnya, harapannya, tidak dapat lagi terbang bersama cintanya yang lain, pelindungnya yang lain, harapannya yang lain, ayah kami, lalu Anton tersadar dari lamunannya, bukan karena debu yang mengganggu mata mungilnya, tetapi karena tali layangnya telah terputus.
            “Sudah, ton, jangan kamu kejar, biarlah orang yang mendapatkannya menjadi kepuasannya sendiri”, kata ku.
            “tapi..”
            “ ‘tapi’ tidak akan mengembalikan kepuasanmu dan tidak mungkin menjadi seperti baru, karena aku sudah merasakan sebelumnya, walau bukan karena peristiwa yang sama”
            “.....”
            “Sebaiknya kita pulang kerumahku saja hari ini, hari sudah sore, besok pagi aku akan mengantarkan kamu pergi ke sekolah”
“Baik, kak, kakak adalah harapanku yang baru, walau tali kita sedikit terputus”.


Kayu Agung, Palembang, 10 Juni 2014.

Fakir Kaya

Fakir Kaya

Bergelombang tanpa putus, semua lobang hitam masyarakat
Fanatik akan hal-hal mulus, tetap terlentang pucat layaknya mayat
Babilonia
Hingga nebula, mewah sudah didapat

Berjuta-juta kertas, bertumpuk, terlipat dan kusut
Biru, hijau, merah
Lagi dan lagi dan lagi dan lagi…..
Bernafas, ingin tanpa henti dalam kenikmatan nyata mimpi

Memperkosa kebutuhan lain, mencabuli bisikan angin
Miliaran sinar menerangi, meludahi kepolosan sebatang lilin
Lumpuhkan naluri
Pembunuh suara hati, berlidah duri, berambut ular, bergigi emas

Menderita sendiri, dipelukan uang yang sudah siap mengangkang
Di antara kangkangan, adalah racun untuk para dewa sepertinya
Mengemis Valkuntha
Memohon Gan Eden 
Atau Surga, mereka menyebutnya, tetap tamak ingin ke sana


KAYU AGUNG, PALEMBANG. 17 JUNI 2014