Senin, 13 Januari 2014

Puisi ini ditulis oleh seorang anak Afrika dan masuk nominasi sebagai puisi terbaik tahun 2006 versi PBB



When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in Sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black

And you white fellow
When you born, you pink
When you grow up, you white
When you go in sun, you red
When you cold, you blue
When you scared, you yellow
When you sick, you green
And when! You die , you gray

And you calling me colored?

Saat 'ku lahir, warnaku hitam
Saat 'ku besar, warnaku hitam
Saat 'ku berpanas-panasan, warnaku hitam
Saat 'ku takut, warnaku hitam
Saat 'ku sakit, warnaku hitam
Dan saat meninggal pun, warnaku tetap hitam

Dan kau teman putih
Saat kau lahir, warnamu merah muda
Saat kau besar, warnamu putih
Saat kau berpanas-panasan, warnamu kemerah-merahan
Saat kau kedinginan, warnamu kebiru-biruan
Saat kau takut, warnamu kekuning-kuningan
Saat kau sakit, warnamu kehijau-hijauan
Dan bahkan saat meninggal pun, warnamu keabu-abuan

Dan kau memanggilku berwarna?

This poem was nominated by UN as the best poem of 2006, Written by an

African Kid

Senin, 06 Januari 2014

Meja Yang 'Tak Hijau



Tersebar luas frasa berwujud kalimat
Bersetubuh diksi nan bermutu tinggi
Dengan liur, sisi gulita menyelinap
Menyulap hakiki menjadi fiksi
                          Memperkosa terang dengan hebat
                          Bercampur dalam argumentasi
                          Segala cingcong dari kerongkongan
                          Segala bergumul dalam satu ruangan
Dalam ruangan satu asa digantungi
Seperangkat timbangan diejek, dinistai
Tiap masa depan ‘kan dapat tersembelih       
Satu sisi mungkin saja jadi erangan mati
                          Lembutnya bahasa dalil sulit dipahami
                         Kupasan ahli amat jemu, sungguh palsu
                         Mahalnya harga ‘tuk mengerti
                         Kenapa takdir diserahkan ketukkan palu?
Palu yang menyerupai kilat petir
Mengejuti angkasa suasana hati
Paku terkutuk menusuk dengan mahir
Meludah, menghina dan mentertawai
                          Tuntutan hak dan rasa, sengaja dituli’kan
                        Suara hati dengan sendiri terkandangi
                        Kebuasan melarikan diri dari kuburan
                        Setan-setan hukum menggentayangi
Warna hitam gelap menghiasi
Segala isi meja hijau yang maha suci
Hanya sebelah mata yang ditutupi
Dewi Themis pun dikangkangi

Detik Nyanyian Waktu



Aku sering bermain dengan siksaan dunia.......................
Menikmatinya..................................................................
Teguh mendengarkan tiap tegurannya.............................


Beberapa nafas surga membelai.....................................
Berjuta-juta batang rambutku yang t’lah putih...............
Seperti kertas tanpa titik-titik ini.....................................


Lihatlah titik-titik ini seperti garis....................................
Tapi teramat banyak, tak bisa ku hitung..........................
Menempel setia di muka dan sekujur tubuhku................
Tak ku pertontonkan suasana miris.................................
Akan aku terima rugi-untung...........................................
Aku bosan, mendengar detik nyanyian waktu.................

Kebenaran Mumi



Hidup ini adalah karya lukisan abstrak
Kunyahlah terus hingga kamu bosan
Carilah arti dalam dunia nan sesak
Carilah apa yang engkau suka
Tak ada yang melarang
Carilah dengan candu yang menyenangkan
Tapi jangan ramalkan masa depan

Setiap rencana bisa saja berbalik arah
Kemenangan bukan sahabat kekalahan
Dan begitulah seterusnya arah panah
Berputar seperti arus laut tergantung angin
Tahun ini hampir menjadi sejarah
Detik-detik baru telah menantang
Jangan pernah ramalkan masa depan

Hembusan, jutaan kata dari lubang mulutnya
Bagaikan lagu yang merdu ditelinga
Karena manusia butuh kepercayaan
Untuk mengutuhkan
Untuk menguatkan
Untuk adanya tujuan
Ada yang tertawa senang, ada yang menangis resah
Fanatisme menggoda
Agama, ideologi dan filsafat dari penjuruh arah
Mengeroyok tanpa adanya perisai
Membabi-buta memecahkan gendang telinga
Oh, hembusan itu sudah menjadi teman
Dipercayai banyak orang
Dijaga dan dirawat seperti hijaunya taman
Dipelajari untuk menjaga keseimbangan
Dicicipi oleh mahluk polos seperti bayi
Perih, menyilaukan mata
Misteri hidup ini tak akan mati
Hembusan tadi, dinikmati dan dirobek oleh singa

Mempesona Berhiaskan Payung



Aku adalah pemimpi
Aku adalah hayalan
Aku adalah bukan pemimpin
Aku adalah pelayan
Aku adalah pemuja
Aku adalah bukan penguasa
Aku untukku adalah penghalang
Aku adalah pencinta
Aku adalah bukan pemanis
Aku adalah anak
Aku adalah perasa
Aku adalah menulis

Tentang wanita
Tentang rasa mengenai dia
Yang diisi oleh kejujuran
Yang dirawat oleh kebenaran
Dia sering mendebar hatiku
Pada saat tersenyum, saat bercerita
Dan pada saat melihat perjuangnnya
Sungguh mempesona

Wanita di tengah-tengah itu
Ya, wanita berbadan kecil itu
Wanita yang sudah lama menjadi sosok seorang Ibu
Adalah sungai yang jernih
Dia baik dalam berlaku
Suaranya sungguh deras mengalir
Ke dalam telinga dan hatiku
Dan ku harap semua orang
Tak perlu perisai di depan senjata yang telah dikokang
Dia amat berani saat berbicara
Berbicara tentang keadilan untuk masa depan
Walau dengan bunyi yang rendah
Dia sungguh mempesona

Wanita yang berpakaian hitam itu
Di atasnya selalu ada payung hitam terbuka lebar
Lambang keteguhan
Wanita yang beraksi diam
Berdiri di sebrang rumah maha besar
Adalah sumber mata air
Dia ada di barisan depan
Pada kamis yang gersang
Anaknya adalah pejuang sembilanbelas sembilan delapan
Wanita yang ku hormati
Sungguh ramah
Sungguh mempesona

Wanita yang berambut putih itu
Dia semangatku, dia inspirasiku
Dia melukiskan semangat kemanusiaan
Dia mengenaliku dunia
Dimana yang baik berloreng
Disitu yang jahat bersembunyi
Penuh bengkak, pilur dan koreng
Tidak dibalut, ‘tak pernah diminyaki

Persembahan Untuk Tuhan



Di atas gunung nan bebatuan
Hijau ‘tak terbentang luas
Hawa beserta angin panas merangsang
Akan kebenaran dan rupa setan
Oh, hidup yang kerdil.. jiwa yang tersesat
Mencari setitik asin, di tengah kenikmatan manis
Kekecewaan yang tebal berlapis
Kegelisahan berjumpa kesulitan
Pada zamanya, sesuatu dilakukan “demi Tuhan
Semua hal dijalankan, bersamaan detik “demi uang
Ubermench dibentuk Nietzsche untuk “membunuh Tuhan
Untuk membebaskan pikiran, jiwa, untuk keagungan
Untuk ketamakan dan kebesaran manusia
Sudahkah “uang” dapat lagi dipersembahkan bagi “Tuhan”?
Di sana ada ‘ku dengar selinting harapan
Ditempat nan gersang ini dipenuhi anggapan
Yang terawat bersih, terbungkus rapih, kritik ‘tak bisa membasahi
Ahh.. bukankah anggapan separoh dari kebenaran?
Terdapat satu kawah untuk dua kutub berbeda
Terdapat satu terminal untuk berbagai angkutan
Pikirkanlah! Persembahkanlah...