Selasa, 11 Februari 2014

Pencakar Langit



Tanah merintih tanpa ada siuman kembali.
Hutan disayat, dirobek, marah karena digunduli.
Tiada obat untuk menangkal, banyak modal untuk mengawal.
                                             
Mereka disiksa, dipaksa mengidam perih sejuta.
Tidak lagi ada akar akar membelai kedalamannya.
Runcing kaki, para raksaksa besi, menusuk perut bumi,
Masuk ke dalam usus perih, tembus ke dalam lambung mati!

Berdiri, berbaris sekehendak, nafsu menginjak-injak.
Renungan kawan biru beri senyum resah abu abu,
Merasa kecewa, kekejaman tiada dua berganti air mata,
Milyaran titik air mata ‘tak terpayungkan, itulah jeweran.

Taring gigi, kepakan sayap gelisah, melarikan diri,
Raungan sedih cari kediaman baru.
Yang diganti tempat benalu, bangunan kesombongan.
Jilatan api, lambaian asap hitam, menghina bumi.
Cakar cakar sengit, menuding melawan menantang langit!.

Meja Yang 'Tak Hijau 3 (Cerpen)



              Dan masuklah ia dalam labirin proses, bersama semua kehijauannya. Di atas tubir tertutup, terlantar tanpa sedikit pun protes. Dikelilingi ketegangan, diselimuti keringat kepolosan dalam ruangan. Lika liku nan mampu ledakkan benak manusia dewasa, tua, jua tiap gugusan otak mahir. Namun ia hanya sebatang di sana, laksana bunga dalam sepinya gersang padang pasir. Dengan keabu-abuan ia menentang masa depan, dengan mata sayu di sebrang palu menunggu ketukannya bagai bedil yang akan mengagetkan, dan dengan sepi menanti datangnya dalil. Berharap Dewi Themis memercik kebijakan akan suatu teka-teki yang menggeleparkan jiwa dan tata-tata dan tidak kurang 1 tahun lama.
                  “Hukum lagi?”, kataku di luar labirin.
            “Iya nak, sebagian kalangan menganggap itulah alat terbaik dan memungkinkan ‘tuk hentikan perselisihan dalam kehidupan sosial.” Langsung saja ia berlagak mengguruiku, “anggapan itu ada, menurutku karena keyakinan bahwa hukum adalah instrumen yang netral dari berbagai nilai atau kepentingan tertentu kelompok sosial.”, kata seseorang tua padaku, juga di luar labirin.
Sulawesi Tengah, Mei 2011, satu peristiwa menggemparkan manusia.
            Dalam labirin tersebut, seorang berpakaian hitam panjang sampai ke lutut, berlengan panjang dengan bahan jenis kain dril dengan wol sisir sebagai lusin, berkata terdengar pelan dari luar sini, “barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama....tahun atau pidana denda paling banyak....rupiah.”
                “Oh, Kasus Pencurian”, kataku sambil membakar sebatang jarum.
               “Ya.. dan pencurinya pun anak kecil 15 tahun serta masih tercatat sebagai siswa SMK Negeri....”, masih kata seorang itu.
            Lantas segeralah mataku menengok lagi ke dalam ruang labirin tersebut, ku lihat benar anak remaja yang duduk di kursi pesakitan, dengan murungnya di lantai terdakwa, dalam posisi yang bersalah, antara bui dan gedung sekolah tercintanya. Langsung terbersit dalam benakku, seperti ini lah jadinya jika remaja berkawan dalam hidup di atas dunia dan lingkungan yang salah.
            “Seperti itu lah kehidupan dewasa ini, nak”, orang itu berkata, dan seperti mendengar puitik benakku, ia berbicara. “Kesalahan itu memang hendaknya dihindari, tapi siapalah manusia yang tak lekang dengan kesalahan?, apalagi dia hanya seorang anak belum dewasa, yang masih menyusun, membangun rumah jati dirinya di atas dunia, di tanah dalam lingkungan kelahirannya.”
            Mataku masih mengintip dari kaca jendela yang hampir seluruhnya tertutup oleh gorden, dalam benakku, “kenapa harus suasana seperti ini yang selalu bergentayangan untuk menggali dan mendapatkan suatu yang katanya keadilan”. Pandangku seperti dipaksa mengarah kepada satu senyum yang agak dipaksakan lugu, seorang muda, tegap, berseragam warna coklat berlogo briptu.
            Aku hendak menanyakan siapa orang itu, yang duduk disamping anak remaja SMK dan ditemani seorang yang berpakaian jas hitamnya. Sebelum ku arahkan mataku, orang itu sudah mulai lagi berbicara, “dia lah penggugatnya, dia juga yang merasa dirugikan maka segalanya masuk ke atas meja hijau ini”.
            “Lantas apa yang telah dilakukan anak itu?”
            “Semuanya bermula saat ia dan temannya lewat Jalan Zebra, tepatnya di muka kosan Briptu tersebut, ia mencuri barang milik Briptu dan lansung dimasukkan ke dalam tas”
            “Barang apa yang diambinya?”
            Seperti Badut yang ‘tak lucu, orang itu ‘tak mengindahkan pertanyaanku, dan terus bercerita. “Saat diinterogasi, anak itu sempat mendapat penganiayaan dari Briptu dan rekannya yang juga polisi. Dengan dugaan itu, keluarga anak tersebut melaporkan kedua oknum polisi ke bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tengah.”
            Dalam benakku, seorang anak sebatang kara itu, ternyata didiamkan dengan ketidaktahuannya, dan sebelum itu, ia sempat dihiasi oleh warna hijau kebiru-biruan lebam, di sekeliling punggung, kaki, dan tangannya, dan ‘tak mampu untuk melawan. Dan sekarang berharap cemas untuk hukuman 5 tahun penjara yang telah menatap tajam. Semakin tertarik aku dengan ceritanya, semakin penasaran aku siapalah gerangan orang tua ini.
                 “Kok polisi yang terlibat, tidak punya perasaan ya?”, seru beberapa orang di antara kita.
             Aku kembali bertanya, “Lalu adakah yang telah dilakukan orang tua anak itu?”, pertanyaan itu keluar didorong oleh rasa penasaran.
            “Mereka sebelumnya pernah berniat mengganti barang yang dicuri anak itu, tetapi Briptu dengan keras ingin melanjutkan kasus ini.”
            Terlintas dalam kepalaku, bahwa keinginan Briptu ini diharuskan karena ia terlanjur disiramkan sanksi. Yang aku ketahui bahwa dengan pelaporan kedua oknum polisi itu ke bidang profesi, maka mereka layak mendapatkan sanksi disiplin.
            Terdengar suara dari dalam labirin, setengah badan seorang ibu nampak dari dalam pintu dengan kerudung berbahan katun, memanggil, “Pak, sudah selesaikan merokoknya?”. tersadar aku bahwa yang dipanggil ibu itu adalah seorang tua yang tadi aku pinjam rokoknya untuk menyalakan rokokku, serta teman ngobrol-ku. Ibu itu melanjutkan, “Pak, ayo masuk, anak kita butuh dukungan moral dan spiritual kita di dalam.”
            Kemudian masuklah ibu tadi ke dalam, dan disusul oleh orang tua dengan sebelumnya memberikan sedikit sapa kepadaku dan hilang dengan ditutupnya pintu labirin. Lalu pergilah beberapa orang di depan pintu ini entah kemana, tersisah aku sendiri dengan mata melihat ke dalam, lewat celah jendela. Merasa iba aku melihat anak itu, dan merasa dapat pembelajaran yang baik aku dari ayah anak itu.
            Coba aku berjalan ke taman dekat ruang persidangan, untuk pikirkan semua itu, dengan mata tetap berpusat pada tempat menggali kebajikan. “Anak SMK 15 tahun?”, “pencurian?”, “Briptu?”, “penganiayaan?”, “pengadilan?”.
       “Akses keadilan apa bagi si bocah SMK itu?!”, seperti bisikan dari embusan angin yang menggoyangkan dedaunan.
               “Mencuri adalah tetap mencuri”, meja yang kalah hijaunya itu, seperti berbicara dengan wibawa.
               “Alas kaki melayang, meja gila ini yang datang”, aula itu merintihkan kekecewaannya.
             Kemudian yang aku ketahui bahwa kejadian yang harus masuk labirin itu adalah kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan anak kecil SMK, dan bersama pertimbangan di bawah umur dan tetap bersekolah, baik selama penyidikan di kepolisian maupun di kejaksaan, anak itu tidak dilakukan penahanan.
            Dalam labirin itu juga, barang bukti yang diajukan bukanlah sandal yang pada awalnya dikatakan hilang. Briptu mengaku, “Saya kehilangan sandal bermerek Eiger nomor 43.”, Tetapi, yang ditunjukkan jaksa sebagai barang bukti ialah sandal bermerek Ando nomor 9,5. Serta tiadanya saksi satu pun yang melihat langsung apakah merek Ando itu yang benar dicurinya di depan kamar Briptu.
            “Kenapa Briptu itu terlihat begitu bersikeras?”, tanya seseorang pada kawan bicaranya di dekat taman.
            Telah aku ketahui juga bahwa kedua oknum polisi itu telah mendapatkan sanksi penempatan di tempat khusus selama 21 hari. Itulah yang membuat ia ngotot agar kasus ini tetap dalam proses peradilan.
            “Menurutku, tindakan anak itu lebih tepat dikategorikan kenakalan masa remaja sebagai bentuk kembang mereka di masa transisi.”, terdengar olehku perkataan lawan bicara orang itu.
            “Apakah benar sistem penegakan hukum di negeri ini hanya mengedepankan sisi prosedural tanpa pertimbangan sisi kemanusiaan?”, pikirku, dan “dari segi hukum, sebaiknya anak-anak dibimbing, dibina, dan dikembalikan pada orang tuanya, bukankah ini bisa menjadi preseden buruk di masa depan bagi rana hukum sendiri? Jika tidak, akan penuhlah penjara karena kenakalan-kenakalan masa remaja”.
            Dengan suara-suara seperti itu dalam benakku, aku akan arsiteki satu rencana, mengetuk hati kecil setiap orang dari berbagai lapis elemennya, dan menggalang sebanyak-banyaknya suara masyarakat dengan mengumpulkan 1000 pasang sandal jepit beserta berbagai macam merek, “anak itu bukanlah koruptor!, yang layak dikedepankan sisi prosedural hukum, sedang koruptor mutlak pun belum tentu”, lagi terdengar suara dalam benakku.
            Jika telah terkumpul 1000 pasang sandal, akan kita serahkan semua kepada briptu itu sebagai pengganti 3 sandalnya yang hilang, dan ia akan puas bahagia!, serta tidak perlu lagi untuk membeli sandal baru dalam seumur hidupnya!
-Selesai-
Hukum adalah sebilah pisau dapur mengarah ke tanah, runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Ia selalu terikat oleh konteks sosio-historis dan tak dapat dilepas, ia datang bukan dari ruang hampa tanpa nama, ia juga selalu memiliki ide-idenya sendiri, artinya selalu menggenggam ideologi, dan akan tercium wangi hukum itu, jika mampu mengedepankan dahulu sisi manusiawi dalam beberapa hal, dan tidak terlepas sifat aslinya.


Steven Turhang (3-2-2014) sastraadalahakar...

Bibir Ratu Dari Timur



Hulu sungai mengalir jujur dari atas leher kabupaten Cianjur
Tumpahkan cairan jernih ke Batavia laksana Ratu dari timur
Terus berlari saling mengejar hingga muka asli Jakarta muncul
Manusia manusia maju, kongsi dan pembangunan ‘tak jemu jemu
Manusia manusia picik tidak sadari, hukum alam bersedih hati
Hilang ditelan bumi, rumah ikan-ikan berganti hitam dan polusi
Batavia dan Jakarta, bagai bulan malam, dan matahari pagi

Sang Ratu bersaksi akan sejuta kisah dalam satu mimpi
Sang Ratu dihina, diludahi, ditinjai
Jakarta kelam berdarah
Di bibir Ratu
Bertumpuk sampah dan bau
Sang Ratu dinodai, diperkosa, tetap didiami
Bisu tersekap, tersisah Batavia dalam siluet dengan cerita cakap
Gugusan orang tua tercebur dalam banjir kebingungan
Bertanya ling lung “di mana sumber air bersih untuk mandi dan cuci?!”
Bersama sang Ratu, ia pun terdiam di bantaran Ci Liwung

Minggu, 09 Februari 2014

Riak Ombak Mata

Percik api itu sengaja dinyala,
Seuntai sumbu dengan tempo mulai mendesis, menderik.
Nuansa hampa dibius oleh gelisah,
Lepas dari ancang busur, panah-panah berontak memutar balik.
Dalam paduan pucat pancar caya bulan

Satu pasti menemui, papasan inti,
Naluri menggali
dan mendengar
dan pada tugas akhir menyimpuli.
Mata waswas bersama kening mengkerut,
Dentuman-dentuman mulut merahi angkasa, diatur oleh kawan membelut.
Kepengapan terasa, dan cepat mengamuk ledakan hebat dalam dada!

Lama, perisai kemarahan ini menahan,
Di atas lumpur tebal, sering dihujani tiap liur mulut kotor,
Membanjiri, dan menderai dari pantai ke pantai.
Layar kapal tak mampu kemudi,
berputar,
tertiup kencang dari tenggorokan badai,
Tak mengenal irama!
Angin menampar-nampar!
Halilintar menyambar!
Mata melepas pandang, mengambang di kengerian laut pasang,
Hilang di bawah awan curam, deru topan berganti sepi.
Ombak beriak tak tertahankan, dengan lambat, mutiara bening menggelinding,
Jatuh ke pipi bumi,
Terdampar pada permadani rumput hijau, terasa gigil-menggigil,
Tiupan nafas alam membekui, merinding,
Dalam kepencilan merasakan tubuh hanya dingin....

Meja Yang 'Tak Hijau 2

Suasana nan senyap bergandengan dengan lirikan sinis dalam ruangan
Banyak manusia simpang siur, berkecamuk kerepotannya berdatangan
Dengan berbagai arah, dan ada yang sepenuhnya tanpa bidikan
Beberapa dengan jubah hitam lambang kewibawaan, mereka kenakan
Hampir seperti pada hari jiwa manusia dipanggil dalam penghakiman
. . . tapi tanpa Tuhan
Urusi :
                        fana berganti misteri
                        lemah tanpa rintih
                        ditimbangnya barang bukti
                        tersistem menjadi tragedi
                        di sebuah gubuk di tengah sawah
                        dalam heningnya Mei 1993
                        hanya saksi alam nan menawan
                        terbungkus jelas dengan 338
Lagu BAP, keras dengan iramanya tentang penculikan, dan penyiksaan
Bersama ketiadamenggerindingkan bulu kuduk
Meluruskan lintasan belok karena ketamakan serta palsunya kekeliruan
Dibalas dengan fitnah-hina dan cekikkan bau busuk
Pedang bermata dua selalu dimuka, lambang kejamnya para penguasa
Aku hanya :
                        seuntai anggrek epifit
                        segenggam embusan asa
                        di dataran Jawa Timur di Desa Jegong
                        bermain Catur melawan Putra di bawah Surya
                        kawan-kawanku tak berkutik hanya terbengong
                        oleh segala desakan yang tersirat
                        aku adalah keprihatinan dan rasa cinta
                        aku terbaring, dan sisahnya tinggal mayat
Namun demikian, harapanku di dunia masih ada yang tertinggal, tersisa
Ku serahkan semuanya walau sedikit kepada proses dan kebersihan hati
Dakwaan tentang kepergianku, semoga tidak tercambur racun bisa
Orang-orang yang diduga, berjejer horisontal dengan saksi-saksi
Tapi ruangan itu sudah teramat kotor dan racun bisa sudah masuk pembuluh darah
Rohku berhayal :
                        sepi dan sendiri
                        seuntai anggrek telah terinjak-injak
                        di meja judi
                        berwarna hijau, terlukis bijak
                        gelap, aku melihat dunia ini
                        gelak-tawa tak kenal dosa
                        M.A.R.I. tingkat kasasi
                        hukum terpecah, semua direkayasa
                        itulah arti “keadilan tertinggi adalah tidakadil tertinggi”?

Hadajuban Dalam Kimono

kemarin lusa, corak indah, penuh warna

berganti gombal-menyanjung,

dengan penuh enteng,

kemarin matahari terbit cerah

bersiul teman kita,

bernada tameng

dan juga minum dari air tanah kita


air tanah di muka, murni oleh uap 

jadi awan-awan kusam kelabu menyapa,

gelap gulita


maka angin pun tak ramah,

yukata tidak ada arti

hari ini lah, kimono berteman dengannya

agar ditata jadi bunga-bunga

‘tuk dihirup berkali-kali

‘tuk dijadikan sake-nya

‘tuk menerima nafsunya belati


mereka bukan honko dan bukan seniman,

sang cahaya menyebutnya “geisha”

panda-panda siap berpesta-pora

tungku telah tersedia, terawat nyaman

kimono dibuka pasukan surya,

dan tersisa tinggal hadajuban,

tidak putih tetapi berona merah!