Mencoba
melukis dengan kata-kata dan mewarnainya dengan barisan huruf puitik.
Mengumpulkan bermacam cat, mencampurnya, memainkan kuas dan menghasilkan karya
yang tersembunyi berbagai warna kritik.
Mula-mula
menempelkannya di dinding atau lantai atau kanvas jiwanya yang tak terlihat
oleh mata. Terbaca jelas satu peristiwa, akan tetapi, dapat menjadi cermin ke
berbagai arah, ke setiap sudut panggung sandiwara dunia, dan tak terbatas pada
satu ruangan sempit dan gelap dan dipenuhi bau badan manusia yang tidak suka
merawat kebersihan dengan rutin, hal yang rutin dia lakukan adalah memasukkan
tangannya ke dalam tenggorokan, dan mengeluarkan banyak liur ke atas kanvas itu
dia melukis :
Ku berjalan menentang angin
Karena aku tak suka asingnya suara-suara
Kebaikan tergoda indahnya api lilin
Meraba-raba aroma wangi dua buah dada
Sedikit
tabu, tak berjiwa adat ketimuran, bahkan tak bernilai seni!. Penulis itu
tersenyum, karena suara-suara yang tak disukainya semakin nyata. Dan mereka,
orang-orang yang telah melihat dua buah dada merasa, bahwa lukisan kata itu tak
layak untuk dikonsumsi.
Dia tetap
hanya ingin bergulat dengan dirinya sendiri, dia tak mampu melihat kritikan itu
sebagai kritik seni, siapalah penulis yang merasa layak karyanya untuk dimakan,
dikonsumsi, dijual dan dengan kesalahan apresiasi?. “Aku menulis karena aku
tidak makan, jika tulisanku laku untuk dikonsumsi, apakah masih ada celah
kosong untuk dituliskan?”
Oh.. puisi.. oh puisi..
Engkau bukanlah ilmu pengetahuan dengan batasan
Oh.. puisiku, bukan lah dogma, karena disitu tak ada derita
Oh.. puisi.. oh puisi..
Engkau lahir dari penderitaan
Dan ketika terlahir, penderitaan menjadi puisi
Oh.. puisi, engkau adalah derita
Penulis
mana yang melihat batasan? Penulis mana yang tak bebas seperti burung yang
tidak mampu terbang melihat pohon dengan bentuk yang berbeda? Apakah harus
dibuat undang-undang yang mengatur garis batas bagi penulis untuk membuat
karyanya? Apakah batasan-batasan yang kalian suarakan adalah nyata? Apakah yang
penulis rangkai adalah selalu nyata? Apakah karya seni selalu hidup dalam
kenyataan? Oh.. apakah! Inilah kenyataan!.
“Aku
adalah hampir sama dengan pemulung, aku hanya mencari sampah-sampah di jalan, di
pinggir sungai, di jembatan dan dimana-mana. Aku hanya ingin membuatnya
berguna, dan jika tidak, tong sampah pun tak ingin menerimanya. Aku akan coba
langkah terakhir, membakar sampah-sampah tadi, kemudian asapnya akan aku hirup
masuk kepedalaman paruku. Karena aku ingin menjadi satu dengan segala macam
sampah yang ada dalam diriku, karena aku ingin memperbaikinya setelah aku
rusakkan, karena aku ingin bercinta untuk merasakan kebencian, karena aku ingin
bahagia bersama derita, dan karena aku hanya manusia yang dipenuhi sampah dan
gejolak jiwa.”, kata sang penulis dalam syairnya:
Oh.. sampah.. pergilah dari ranjangku!
Karena aku ingin bercinta
Ku ingin meneguk sesendok keringatnya
Yang dipenuhi oleh aroma, tiada dua!
Yang dikuasai oleh nafsu dalam jiwa
Aku ingin masuk kedalamnya
Merasakannya.. menikmati cinta yang sudah menjadi bukan
cinta
Keluarlah tinta dari penaku, menjadi cairan karya seni
Mereka
terus menghujani, membasahi, mempermalukan dengan lebih banyak petir tak
terkendali, dengan terlebih dahulu mengusir pergi matahari. Mereka datang
tiba-tiba, mereka memperotes seperti anak bayi, mereka memarahi seperti seorang
ibu kepada anaknya yang tak patuh. Dan penulis itu berkata,
“Kalian
belum waktunya datang, awan-awan gelap pun belum nampak menyelimuti surya”,
ia
melanjutkan, “kalian, aku rasa sudah layak pergi tinggalkan sayap-sayap ayam
indukmu, tengoklah sekitar, cermatilah, kalian sudah bukan anak bayi”,
Kembali
dia dengan suara bernada rendah, “tetapi, patuhlah terus kalian kepada indukmu,
dan jangan larang anakmu nanti melatih hayalannya”.
Kedua
telinga mereka tertutup oleh emosi dan oleh kehidupan nyata, penulis itu
semakin pasrah ketika dia melihat ada di antara mereka, kawannya yang sama
kesibukannya, yang satu profesi dengannya. Mereka menyirami dengan kata-kata;
nista, pendosa, setan, binatang, yang keluar seperti peluru-peluru panas dari
senapan hasil curian, melukai wajah dan tubuh penulis tetapi tak mampu menembus
kanvas jiwanya.
Penulis
tidak melawan dan juga tidak, untuk membela diri. Dia melihat setiap ludah yang
keluar dari mulut mereka dengan suara-suaranya adalah seni, karya seni. Dan
karya seni adalah satu peristiwa dengan jiwa yang keluar dari tubuh seorang
seniman sebagai manusia, seperti anaknya sendiri. seperti jiwanya sendiri. Pada
saat itu penulis mengetahui bahwa karya seni tak akan bisa mati, walau mereka
terus mencoba untuk membunuhnya. Tubuh
penulis akan pasti mati, tetapi dengan tenang, sebab satu rencana
seorang penulis sudah hampir selesai, yaitu membuat lukisan kata-kata. Dan
keturunannya itu akan terus ada, dan akan terus mendoakannya, agar dapat
diterima di rumah abadi para jiwa-jiwa, yang tak lagi menyentuh tanah dan dua
buah dada, dan tak lagi mampu untuk menghirup aroma keringatnya, dia terbang
melayang dan tak lagi membutuhkan udara, sebab paru-paru mereka tak lagi
berguna, telinga dan matanya juga tidak dapat bekerja, bahkan jantungnya sudah
tak mampu memompa darah. Sebab jiwa adalah juga karya seni yang tak dapat
dinilai tingkat keseniannya oleh jiwa kita, jiwa adalah lukisan dan karya seni
terindah yang diciptakan oleh Maha Karya, Maha Indah, Sang Maha Cipta Karya
Yang Terindah.
(Kayu Agung, Palembang, 10 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar